Minggu, 20 Januari 2008

PERSPEKTIF ISLAM MENGENAI MASALAH GENDER

Selalu ramai dibicarakan dari masa ke masa mengenai masalah yang satu ini yaitu, permasalahan GENDER. Semua orang punya pandangan yang berbeda menanggapi hal ini, ada kelompok yang berjuang keras menginginkan persamaan gender, kelompok ini beranggapan semua manusia sama tidak bolah dibeda-bedakan baik dari aspek agama, suku, bangsa, warna kulit, bahasa, maupun dari jenis kelamin. Namun kenyataan yang ada saat ini kaum wanita masih dianggap kaum pinggiran yang lemah, posisi kaum wanita berada di bawah kaum pria. Ada juga kelompok yang bersikeras bahwa wanita memang dikodratkan sebagai pendamping kaum pria, bukan kaum yang memiliki peran utama, wanita hanya sebagai peran pembantu saja, kedudukan wanita memang tidak sejajar dengan kaum pria, begitu anggapan mereka.

Jika kita lihat masalah ini dalam kaca mata Islam, maka kita akan memperoleh pencerahan, di mana Islam menganggap semua manusia itu sama dan sejajar dihadapan Ilahi Rabbi. Perbedaan kedudukan manusia di hadapan Allah SWT hanya bisa dilihat dari ketakwaannya

Fakta ini akan sangat menarik bila dihubungkan dengan Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam. Al-Qur’an memaparkan dengan jelas dan rinci mengenai masalah gender dengan mengedepankan prinsip keadilan, kesetaraan dan kemitraan. Al-Qur’an tidak pula menafikan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan tetapi perbedaan tersebut bukanlah pembedaan yang menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak lainnya. Laki-laki dan perempuan dalam islam memiliki posisi, kewajiban dan hak-hak tertentu yang telah diatur dalam Al Qur`an dengan komposisinya masing-masing.

Tapi masih banyak pula orang islam yang berbeda paham menafsirkan ayat Al Qur`an mengenai masalah gender ini. Oleh karena itu, kita akan buka kembali ayat-ayat Al Qur`an yang membahas masalah gender, agar adanya kesatuan penafsiran sehingga masalah gender ini bisa ditanggapi dengan bijak oleh kita semua.


DEFINISI GENDER

Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Sedangkan menurut Hilary M. Lips dalam bukunya Sex and Gender: An Introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Kata gender berasal dari bahasa Inggris, berarti jenis kelamin. Dalam Webster’s New World, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.

Wilson memahami konsep gender sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan. Meskipun kata gender belum termasuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, namun istilah tersebut telah lazim digunakan. Khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Pemberdayaan Perempuan dengan ejaan “jender” dan diartikan sebagai interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.
Pengertian lain tentang gender sebagaimana dirumuskan oleh Monsour Fakih, gender adalah suatau sifat yang melikat pada kaum laiki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Sifat gender yang melekat pada perempuan misalnya perempuan itu dikenal lemah, lembut, cantik emisional atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa.

Sementara umar menyatakan bahwa gender dapat dipahami sebagai suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya. Menurutnya, Gender dalam hal ini merupakan suatu bentuk rekayasa masyarakat (Social Contructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati. Pendeknya, gender adalah jenis kelmin sosial dan bukan jenis kelamin yang terciptasecara kodrati.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari sudut non-biologis. secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari sudut sosial budaya. Dalam hal ini gender biasanya dikaitkan dengan pembagian atas dasar jenis kelamin dan klasifikasi berdasarkan jenis kelamin.


GENDER DALAM AL-QURAN

Sesuai dengan firman Allah dalam Al Qur`an yang artinya: "Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin[QS 12:18], laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah Telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar". [QS 12:18] yang dimaksud dengan muslim di sini ialah orang-orang yang mengikuti perintah dan larangan pada lahirnya, sedang yang dimaksud dengan orang-orang mukmin di sini ialah orang yang membenarkan apa yang harus dibenarkan dengan hatinya. Perspektif gender dalam Al-Quran tidak sekedar mengatur keserasian relasi gender, hubungan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, tetapi lebih dari itu Al-Quran juga mengatur keserasian pola relasi antara manusia, alam dan Tuhan. Secara umum tampaknya Al-Quran mengakui adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan tetapi perbedaan tersebut bukanlah peebedaan yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain. Perbedaan tersebut dimaksudkan untuk mendukung obsesi Al-Quran yaitu terciptanya hubungan harmonis yang didasari rasa kasih sayang di lingkungan keluarga.

Dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang diciptakan Allah SWT berdasarkan kodrat. “Sesungguhnya segala sesuatu Kami ciptakan dengan qadar” (QS. Al-Qamar: 49). Para pakar mengartikan qadar di sini dengan ukuran-ukuran, sifat-sifat yang ditetapkan Allah SWT bagi segala sesuatu, dan itu dinamakan kodrat. Dengan demikian, laki-laki dan perempuan sebagai individu dan jenis kelamin memiliki kodratnya masing-masing. Syeikh Mahmud Syaltut mengatakan bahwa tabiat kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan berbeda, namun dapat dipastikan bahwa Allah SWT lebih menganugerahkan potensi dan kemampuan kepada perempuan sebagaimana telah menganugerahkannya kepada laki-laki.Ayat Al-Quran yang populer dijadikan rujukan dalam pembicaraan tentang asal kejadian perempuan adalah firman Allah dalam QS. An-Nisa’ ayat 1,”Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu, yang telah menciptakan kamu dari diri (nafs) yang satu, dan darinya Allah menciptakan pasangannya dan keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.”

Adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak dapat disangkal karena memiliki kodrat masing-masing. Perbedaan tersebut paling tidak dari segi biologis. Al-Quran mengingatkan, “Janganlah kamu iri hati terhadap keistimewaan yang dianugerahkan Allah terhadap sebagian kamu atas sebagian yang lain. Laki-laki mempunyai hak atas apa yang diusahakannya dan perempuan juga mempunyai hak atas apa yang diusahakannya” (QS. An-Nisa’: 32)Ayat di atas mengisyaratkan perbedaan, dan bahwa masing-masing memiliki keistimewaan. Walaupun demikian, ayat ini tidak menjelaskan apa keistimewaan dan perbedaan itu.

Namun dapat dipastikan bahwa perbedaan yang ada tentu mengakibatkan fungsi utama yang harus mereka emban masing-masing. Di sisi lain dapat pula dipastikan tiada perbedaan dalam tingkat kecerdasan dan kemampuan berfikir antara kedua jenis kelamin itu. Al-Quran memuji ulul albab yaitu yang berzikir dan memikirkan tentang kejadian langit dan bumi. Zikir dan pikir dapat mengantar manusia mengetahui rahasia-rahasia alam raya. Ulul albab tidak terbatas pada kaum laki-laki saja, tetapi juga kaum perempuan, karena setelah Al-Quran menguraikan sifat-sifat ulul albab ditegaskannya bahwa “Maka Tuhan mereka mengabulkan permintaan mereka dengan berfirman; “Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan”. (QS. Ali Imran: 195). Ini berarti bahwa kaum perempuan sejajar dengan laki-laki dalam potensi intelektualnya, mereka juga dapat berpikir, mempelajari kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati dari zikir kepada Allah serta apa yang mereka pikirkan dari alam raya ini.

Jenis laki-laki dan perempuan sama di hadapan Allah. Memang ada ayat yang menegaskan bahwa “Para laki-laki (suami) adalah pemimpin para perempuan (istri)” (QS. An-Nisa’: 34), namun kepemimpinan ini tidak boleh mengantarnya kepada kesewenang-wenangan, karena dari satu sisi Al-Quran memerintahkan untuk tolong menolong antara laki-laki dan perempuan dan pada sisi lain Al-Quran memerintahkan pula agar suami dan istri hendaknya mendiskusikan dan memusyawarahkan persoalan mereka bersama.

Sepintas terlihat bahwa tugas kepemimpinan ini merupakan keistimewaan dan derajat tingkat yang lebih tinggi dari perempuan. Bahkan ada ayat yang mengisyaratkan tentang derajat tersebut yaitu firmanNYA, “Para istri mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, akan tetapi para suami mempunyai satu derajat/tingkat atas mereka (para istri)” (QS. Al-Baqarah: 228). Kata derajat dalam ayat di atas menurut Imam Thabary adalah kelapangan dada suami terhadap istrinya untuk meringankan sebagian kewajiban istri. Al-Quran secara tegas menyatakan bahwa laki-laki bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, karena itu, laki-laki yang memiliki kemampuan material dianjurkan untuk menangguhkan perkawinan. Namun bila perkawinan telah terjalin dan penghasilan manusia tidak mencukupi kebutuhan keluarga, maka atas dasar anjuran tolong menolong yang dikemukakan di atas, istri hendaknya dapat membantu suaminya untuk menambah penghasilan.

Jika demikian halnya, maka pada hakikatnya hubungan suami dan istri, laki-laki dan perempuan adalah hubungan kemitraan. Dari sini dapat dimengerti mengapa ayat-ayat Al-Quran menggambarkan hubungan laki-laki dan perempuan, suami dan istri sebagai hubungan yang saling menyempurnakan yang tidak dapat terpenuhi kecuali atas dasar kemitraan. Hal ini diungkapkan Al-Quran dengan istilah ba’dhukum mim ba’dhi – sebagian kamu (laki-laki) adalah sebahagian dari yang lain (perempuan). Istilah ini atau semacamnya dikemukakan kotab suci Al-Quran baik dalam konteks uraiannya tentang asal kejadian laki-laki dan perempuan (QS. Ali Imran: 195), maupun dalam konteks hubungan suami istri (QS. An-Nisa’: 21) serta kegiatan-kegiatan sosial (QS. At-Taubah: 71).Kemitraan dalam hubungan suami istri dinyatakan dalam hubungan timbal balik: “Istri-istri kamu adalah pakaian untuk kamu (para suami) dan kamu adalah pakaian untuk mereka” (QS. Al-Baqarah: 187), sedang dalam keadaan sosial digariskan: “Orang-orang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh (mengerjakan yang ma’ruf) dan mencegah yang munkar” (QS. At-Taubah: 71). Selain itu kita harus mempertimbangkan bahwa Allah mempunyai nilai dan tujuan tertentu dengn membagi manusia kedalam jenis pria dan wanita.Jika tidak deikian, maka tidak ada tujuan dan nilai sama sekali. Keberadaan laki-laki dan perempuan sangatlah penting untuk memastikan kelangsungan hidup manusia. Masing-masing memiliki sifat-sifat yang berbeda tetapi sama-sama berharga dan bernilai. Masing-masing memiliki tugas yang berbeda tetapi sama-sama berharga dan harus saling menghargai. Seperti dinyatakan dalam al-Quran,yang artinya: …dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan…(Q.S 3;36).

Sebagaimana telah diketahui dalam sejarah, Islam sesungguhnya mempunyai andil besar dalam meretas belenggu kultur arab Jahiliyyah yang telah menjerat harkat kemanusiaan. Islam adalah agama yang sangat mempedulikan dan mengajarkan prinsip-prinsip keadilan. Dalam hal ini "keadilan dalam perspektif Islam" Demikian menurut Baqirshahi yang dikutif Muhammad Salik. Hal ini, membuktikan bahwa islam merupakan agama yang penuh dengan cita-cita sosial. Sebagai gerakan cultural, Islam mendobrak keterbelakangan dan melepaskan bekenggu yang mengikat harkat kemanusiaan.

Selasa, 13 November 2007

RESENSI BUKU EVALUASI PROGRAM PENDIDIKAN

Judul Buku : Evaluasi Program Pendidikan
Penulis : Suharsimi Arikunto dan Cepi Safrudin Abdul Jabar
Penerbit : Bumi Aksara
Tahun terbit : 2004, Cetakan pertama
Jumlah halaman : xi+152
Evaluasi (evaluation) adalah sebuah kegiatan atau langkah yang tidak bisa dilupakan dan harus dilakukan dalam sebuah kegiatan atau program baik berskala besar atau formal, mengapa demikian? Sebab evaluasi berfungsi untuk mengetahui apakah program yang kita laksanakan berhasil atau tidak? Selain itu, evaluasi juga berfungsi untuk mengukur dan menilai, apakah program yang dilaksanakan perlu dilanjutkan atau tidak dan bagaimana efektifitas masing-masing komponennya?. Untuk melakukan evaluasi diperlukan pemahaman yang komprehensif agar pelaksanaan evaluasi dapat berjalan dengan benar dan sesuai prosedur. Untuk menemukan jawaban pertanyaan-pertanyaan diatas kiranya seorang evaluator dan praktisi pendidikan dapat mencarinya di dalam buku kecil yang berjudul “Evaluasi Program Pendidikan.”
Buku ini mencoba memberikan pengetahuan dan pemahaman dasar tentang konsep dan pelaksanaan evaluasi khususnya evaluasi program pendidikan. Evaluasi program pendidikan adalah tidak lain supervisi pendidikan dalam pengertian khusus, tertuju pada lembaga secara keseluruhan (hal 8). Buku ini ditulis oleh seorang praktisi pendidikan yang tidak diragukan lagi kompetensi dan kapasitas keilmuannya dalam dunia pendidikan. Meskipun jumlah halamannya tidak begitu tebal hanya 152 halaman, namun buku ini mampu memberikan pedoman teoritis praktis bagi para praktisi pendidikan. Melalui buku ini penulis ingin berbagi ilmu dengan para pembacanya khususnya praktisi pendidikan mengenai metodologi evaluasi program pendidikan.
Untuk membantu para pembaca dalam memahami content buku, penulis menyertakan rangkuman materi, daftar tabel dan daftar gambar didalamnya. Ada sedikit kelebihan dari buku ini, dimana penulis tidak hanya memberikan kerangka konseptual tentang evaluasi program, tapi juga kerangka praktis evaluasi program. Buku ini terdiri dari tujuh bab. Bab pertama menjelaskan tentang konsep evaluasi program. Dalam bab ini diberikan pemahaman dasar tentang evaluasi program mulai dari definisi, komponen, manfaat, tujuan dan criteria evaluasi program. Bab dua berisi model dan rancangan evaluasi program. Disini dijelaskan berbagai model evaluasi program, ketepatan penentuan model evaluasi dan rancangan evaluasi program.
Sebelum melaksanakan evaluasi program maka perlu sebuah perencanaan terlebih dahulu agar evaluasi yang akan dilaksanakan berhasil. Pembahasan mengenai perencanaan evaluasi program terdapat pada bab tiga. Pada bab ini dijelaskan tentang analisa kebutuhan, menyusun proposal, dan membuat instrument evaluasi program. Setelah melakukan perencanaan maka langkah selanjutnya adalah pelaksanaan evaluasi program tersebut. Pada bab empat ini dibahas tentang pelaksanaan evaluasi program mulai dari bagaimana persiapannya, bagaimana pelaksanaannya, dan siapa dan bagaimana memonitoring evaluasi tersebut.
Materi tentang analisa data dalam evaluasi program dapat dibaca pada bab lima. Pada bab ini berisi tentang tabulasi data, pengolahan data hingga pengolahan data dengan komputer. Pada bab enam dan tujuh, penulis memberikan teknik bagaimana cara menyusun laporan evaluasi dan tata tulis laporan evaluasi.

Selasa, 06 November 2007

Syarat-syarat evaluator & perbedaan evaluator internal&eksternal

Syarat-Seorang Evaluator
  1. Seorang evaluator harus memiliki kemampuan, persyaratan pertama yang harus dipenuhi oleh evaluator adalah bahwa mereka harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan evaluasi yang didukung oleh teori akademik dan keterampilan praktik (pengalaman)
  2. Memiliki kecermatan dan ketelitian, yaitu dapat melihat celah-celah secara detail dari program serta bagian program yang akan dievaluasi. sehingga dalam pelaksanaanya dapat selesai dengan baik dan memuaskan.
  3. Objektif, tidak mudah dipengaruhi oleh keinginan pribadi, agar dapat mengumpulkan data sesuai dengan fakta yang sebenarnya, selanjutnya dapat mengambil kesimpulan sebagaimana diatur ketentuan yang harus diikuti. apabila syarat ini tidak dimiliki oleh seorang evaluator maka pelaksanaan evaluasi akan
  4. Sabar dan tekun, agar di dalam melaksanakan tugas dimulai dari membuat rancangan kegiatan dalam bentuk menyusun proposal, menyusun instrumen, mengumpulkan data dan menyusun laporan, tidak gegabah dan tergesa-gesa.
  5. Hati-hati dan bertanggung jawab, yaitu melakukan pekerjaan evaluasi dengan penuh pertimbangan, namun apabila masih ada kekeliruan yang diperbuat berani menanggung resiko atas segala kesalahannya. tanggung jawab ini merupakan syarat yang peling penting dari berbagai syarat yang ada karena rasa tanggung jawab ini akan mempengaruhi keputusan yang akan dimbil kemudian.
  6. Jujur dan amanah, maksudnya adalah seorang evaluator harus menyampaikan laporan hasil evaluasinya sesuai dengan kenyataan di lapangan dan tugas yang diembannya. seorang evaluator harus mempunyai kode etik dalam bertugas.
Perbedaan Evaluator Internal dan Eksternal.
  • Evaluator Internal adalah petugas evaluasi program yang sekaligus merupakan salah seorang dari petugas atau anggota pelaksana program evaluasi. Evaluator internal lebih memahami betul tentang program yang akan dievaluasi dan tepat pada sasaran.
  • Evaluasi Eksternal adalah petugas evaluasi program yang berasal dari orang-orang luar dan tidak terkait dengan kebijakan dan implementasi program. Biasanya bersifat independent. Evaluator eksternal lebih membutuhkan waktu yang cukup lama dalam mengevaluasi suatu program dan cenderung kurang tepat sasaran, karena memang mereka bukan berlatar belakang dari orang-orang evaluasi program.




Bapak, mohon maaf tugas posting minggu kemarin terlambat dikirim, karena lupa pasword blognya, dan ada masalah jaringan di warnet.

Selasa, 30 Oktober 2007

Konsorsium Stanford

Berdasarkan Stanford:
Evaluasi guru

Kalo siswa ga evaluasi guru, rapornya ditahan. Supaya dapet rapor cepet, harus evaluasi guru! (ini sogokan ato ancaman?)

Pengawasan terhadap siswa
Semua profesor dan TA dipercaya untuk TIDAK menjaga murid pas ujian karena murid2 dianggap sudah dewasa dan ga akan menyontek.

Apa Tes IQ Itu?

PDF

Print

Sunday, 29 July 2007

Skor tes IQ sering dilihat sebagai ukuran kecerdasan seorang anak. Padahal skor tersebut tidak berdiri sendiri. Ia berhubungan dengan pola asuh, hubungan anak dan orangtua, kebiasaan belajar, dan faktor lingkungan lainnya.

Intelegensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Dalam arti yang lebih luas, para ahli mengartikan intelegensi sebagai suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional.

Menurut Indri Savitri, S. Psi, Kepala Divisi Klinik dan Layanan Masyarakat LPT UI, intelegensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan wujud dari proses berpikir rasional itu. Tes IQ adalah alat ukur kecerdasan yang hasilnya berupa skor. Tetapi skor tersebut hanya memberi sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan secara keseluruhan.

Skor bukan harga mati
Howard Gardner, psikolog pendidikan asal Amerika yang terkenal dengan teori kecerdasan gandanya menyatakan, kecerdasan intelektual hanyalah salah satu dari 8 kecerdasan yang dimiliki seseorang. Kecerdasan ganda yang dimaksud Gardner adalah kecerdasan di bidang bahasa, berpikir logis atau matematis, musik, visual, dan gerak. “Sayangnya, alat ukur untuk kecerdasan ganda itu masih dikembangkan Gardner. Perlu waktu lama untuk bisa menerapkannya di negara yang berbeda kultur seperti Indonesia,” tutur Indri.

Awalnya, tes IQ diterapkan di masyarakat Barat karena adanya kebutuhan untuk seleksi. Anak-anak dengan kemampuan rata-rata, di bawah, dan di atas rata-rata, memerlukan penanganan yang berbeda. Tapi sekarang di sana skor IQ sudah tidak lagi dipakai karena mulai dikembangkan pendekatan-pendekatan lain yang melihat faktor kecerdasan secara menyeluruh.

Sayangnya, di Indonesia banyak lembaga pendidikan yang mewajibkan calon siswanya untuk tes IQ terlebih dahulu sebagai salah satu syarat penerimaan siswa baru. Ada sekolah yang menetapkan syarat penerimaan tes IQ minimal 120 skala Weschler. “ Bahkan, ada anak yang disarankan untuk sekolah di SLB karena skornya di bawah rata-rata, tanpa ada tahapan melihat latar belakang anak terlebih dahulu,” kata ibu satu anak ini menyayangkan.

Situasi saat tes
Menurut Indri, setidaknya tiga faktor yang berhubungan dengan tes IQ. Pertama, reliabilitas atau sejauh mana hasil tes itu dapat dipercaya. Skor IQ yang diperoleh akan sama walaupun seorang anak melakukannya pada kondisi yang berbeda. Kedua, validitas atau sejauh mana alat ini mampu mengukur apa yang hendak diukur. Jika tes itu mengukur kemampuan berbahasa, maka yang diukur adalah kemampuan anak dalam mengeluarkan pendapat, bukan mengukur kepercayaan diri. Ketiga, standarisasi, yaitu apakah alat yang dipakai sesuai dengan norma masyarakat setempat. Tiap masyarakat tentu mempunya norma berbeda satu sama lain.

Menurut Indri, saat ini banyak dilakukan tes psikologi secara massal, misalnya dalam satu ruang kelas. Padahal, tes yang dilakukan secara massal itu bisa menimbulkan banyak kemungkinan. Sehingga, seorang anak yang skor IQnya 140 belum tentu memiliki prestasi yang baik di sekolah. Sebaliknya, anak dengan skor IQ 85 tidak berarti harus masuk SLB. Orangtua perlu kritis melihat skor tersebut.

Beda alat, beda yang diukur
Tes IQ yang sering dipakai di Indonesia adalah tes Binet dan Wecshler. Kedua tes ini sebenarnya merupakan alat yang sudah dikembangkan sejak lama. Psikolog asal Perancis, Alfred Binet dan Theodor Simon, mulai merancang suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas khusus (kemampuan di bawah rata-rata). Alat itu dinamakan tes Binet-Simon yang kemudian direvisi pada tahun 1911.

Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika membuat banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. Ia menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara usia mental (mental age) dengan usia kronologis (chronological age). Hasil perbaikan ini disebut tes Stanford-Binet. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.

Tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet dinilai masih terlalu umum. Para ilmuwan kemudian mengetahui bahwa intelegensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum, namun juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik. Berdasarkan teori tersebut, dikembangkanlah teori yang disebut teori faktor. Alat yang dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children) untuk anak-anak. Skala ini lebih dikenal dengan skala Wechsler, yang melihat intelegensi sebagai kapasitas seseorang untuk mengatasi masalah sehari-hari menggunakan pengetahuan yang dia miliki.

Faktor genetik dan keturunan
Keturunan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi hasil tes IQ. Penelitian membuktikan bahwa korelasi nilai tes IQ dari satu keluarga adalah sekitar 0,5. Pada anak kembar, korelasinya sangat tinggi, yaitu 0,9. Sedangkan pada anak adopsi, sekitar 0,4-0,5 dengan orangtua kandung, dan 0,1-0,2 dengan orangtua angkatnya. IQ anak kembar yang dibesarkan secara terpisah tetap berkorelasi sangat tinggi.

Intelegensi tentunya tidak bisa terlepas dari otak. Perkembangan otak ini sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Selain gizi, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting. Karenanya, faktor lingkungan dapat menimbulkan perubahan yang berarti.

Oleh karena itu, Indri menegaskan tentang pentingnya kejelasan tujuan dilakukannya tes IQ. Hendaknya tes IQ dilakukan untuk melihat kelebihan dan kekurangan yang ada pada anak. Hal ini penting agar orangtua dan guru dapat memberi stimulasi sesuai dengan kebutuhan anak.

Berdasarkan pengalaman di klinik, Indri banyak menemukan kasus anak yang memiliki skor IQ bagus, tapi prestasi akademisnya rendah. Atau anak dengan skor IQ biasa saja, tapi cukup populer di sekolah karena memiliki rasa percaya diri untuk mengembangkan potensinya.

Sebagai sebuah alat ukur kecerdasan, tes IQ memang satu-satunya alat yang dapat dipakai sampai saat ini. Namun, untuk kepentingan pengoptimalan potensi anak, Indri lebih suka dengan istilah “evaluasi psikologis”. Karena dengan evaluasi psikologis, orangtua atau guru dapat membantu anak sesuai dengan permasalahannya. Misalnya, anak yang kurang pemahaman bahasanya perlu dibantu agar meningkat pemahaman bahasanya.

Untuk evaluasi psikologis, tidak hanya tes IQ yang dibutuhkan. Tes IQ tanpa wawancara sebenarnya tidak bisa berbicara. Karena skor tersebut berhubungan dengan masa lalu, pola asuh, hubungan orangtua dengan anak, kebiasaan belajar, karakter anak dan lingkungannya.

Sumber: Majalah Ummi Online

Rabu, 03 Oktober 2007

Selasa, 25 September 2007

tugas raport

Nama Murid : Nazla Sayyida Kelas : III
Nomor Induk : 104080 Semester : I
Nama Sekolah : SDN Pesanggrahan 03 Pagi Tahun Pelajaran : 2007-2008
Alamat Sekolah : Pesanggrahan Bintaro

No. Mata Pelajaran Nilai
Prestasi Hasil Rata-rata Kelas
Belajar

1 Pendidikan Agama Teori 7 6.8
Praktik 8 6.9
2 Pendidikan Kewarganegaraan Penguasaan Konsep 8.5 6.9
dan Pengetahuan Sosial Keterampilan Sosial 7.5 7.2
Sikap Sosial 6.5 6.5
3 Bahasa Indonesia Membaca 8 7.3
Menulis 6.5 6.5
Berbicara 7.5 6.8
Mendengarkan 7 6.9
Apresiasi Sastra 6.5 6.4
4 Matematika Berhitung / Bilangan 8 7.3
Geometris dan Pengukuran 7.5 7
Pengelolaan Data 7 6.9
5 Pengetahuan Alam Penguasaan Konsep 8.5 7.5
Keterampilan 8 6.9
Pengetahuan Alam
Sikap Ilmiah 6.5 6.3
6 Kerajinan Tangan dan Rupa 7 6.9
Kesenian Musik 6.5 6.5
Tari 8 7
Kerajinan 7 6.7
7 Pendidikan Jasmani Permainan dan Olahraga 7 6
Pengembangan Diri 6.5 6.5
Senam 8 7
Pilihan - -
8 Muatan Lokal
a. B. Inggris 6 6.5
b.
Jumlah 174.5 163.2

Kegiatan Ekstrakulikuler Nilai
1 Pramuka A
2 ……………………………………………………………………… ..
3 ……………………………………………………………………… ..

Mengetahui, Jakarta, 31 Desember 2006
Kepala Sekolah Orang Tua/Wali




(……………………………………) (…………………………………….)

Selasa, 18 September 2007

konsep adil dalam islam

"Hai Daud! Sesungguhnya kami menjadikan kamu (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsumu, kerana ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, kerana mereka melupakan hari perhitungan"
(Surah Shaad ayat 26)

Firman Allah kepada nabi s a.w. mengenai ahli al-kitab

"Jika mereka orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan) maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah daripada mereka" sampai kepada "Dan jika kamu memutuskan perkara mereka maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil."
(Surah Al-Maidah ayat 49)

Firman Allah lagi

"dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu menurut hawa nafsu mereka. Dan berhatihatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan . kamu dari sebahagian apa yang diturunkan Allah kepadamu"

Firman Allah Taala selanjutnya:

"Dan (menguruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil",

Berkata Imam Al-Shafiee Rahmatallah:

Sesungguhnya Allah telah memberitahu nabiNya s.a.w. untuk mewajibkan kepadanya, kepada orang-orang sebelumnya dan seluruh manusia bilamana memutuskan hukuman hendaklah dengan adil.

Makna "adil" ialah mengikut hukum yang diturunkan Allah. Allah telah berfirman kepada nabiNya s.a.w. ketika memerintahkan Baginda memutuskan hukuman di antara ahli al-Kitab dengan hukuman yang diturunkan oleh Allah dan meletakkan nabiNya s.a.w, daripada agama dan umatNya mengikut keterangan dari kitab Allah iaitu apa yang dikehendaki Allah dan mewajibkan taat kepadanya (nabi).

Firman Allah:

"Sesiapa yang taat kepada , Rasul sesungguhnya telah taat kepada Allah".

Firmannya lagi .

"Maka demi Tuhanmu (mereka pada hakikatnya) tidak beriman sehingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan"

dan berfirman lagi:

"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya "takut".

Maka hendaklah diketahui bahawa yang hak itu ialah kitab Allah kemudian sunnah NabiNya s.a.w. Tidak boleh seseorang Mufti atau seorang hakim memberi fatwa atau menghukum sehingga masing-masing mengetahui kedua-duanya. Tidak boleh seseorang menyalahi kedua-duanya atau salah satu dari keduanya"

Jika menyalahi keduanya seseorang itu telah menderhaka dan hukumnya ditolak. Jika tidak terdapat "nas-nas dari keduanya barulah ijtihad."

Keterangan Imam Al-Shafiee ai dalam bab kehakiman itu boleh dijadikan panduan selanjutnya di dalam membicarakan"konsep pimpinan dalam Islam" selain daripada memerhatikan ayat-ayat dah hadith-hadith yang lain, dalam semua peringkat dan golongan pimpinan merangkumi ketua negara, menteri, ulama' penghulu, guru-guru, da'ai, pemi.mpin masyarakat, pertubuhan, rumahtangga dan lain-lain. Kerana sumber pimpinan yang tertinqgi ialah

  1. Al-Quran,
  2. Al-sunnah
  3. Ijtihad dan perkara yang hendak disuburkan dari pimpinan itu ialah keadilah ilahi dan matlamatnya kesejahteraan di dunia dan di akhirat dengan mendapat keredhaan Allah.

Maksud sabda Rasulullah s.a.w. tiap-tiap kamu pengembala dan tiap pengembala bertanggungjawab terhadap apa yang digembala."